Doel Sumbang lahir dan dibesarkan dalam keluarga santri. Ayahnya adalah mubalig di Kota Bandung yang dikenal dengan "Abah Kabayan". Sejak SMP ia telah belajar musik dan teater dari Remy Sylado. Lagu-lagunya sarat dengan kritik sosial. Hal ini menarik seorang produser, Handoko Kusumo, hingga bersedia merekam karya-karya Kang Doel. Ia pun yang memberi nama "Soembang" hingga sekarang dikenal dengan nama Doel Sumbang. "Sumbang" di sini bisa dimaknai sebagai suara kritik, terhadap sistem maupun budaya yak-lirik jenaka namun mengandung kritikan yang cerdas, seperti dalam lagu-lagunya: Aku si raja goda, Suparti, Martini, Sakit Jiwa, dsb. Misalnya, dalam lagu Aku, Tikus, dan Kucing berikut ini; bagaimana Kang Doel menyentil sosok gadis zaman sekarang hingga kondisi Kota Bandung, tempat ia lahir dan dibesarkan. Tapi, lagu-lagu Doel Sumbang pun tidak hanya berkutat dalam ranah kritik/kondisi sosial. Ia pun bisa menyajikan lirik cinta yang berkelindan manis dengan makna kehidupan manusia, seperti dalam lagu Arti Kehidupan.
Tidak hanya di tingkat Nasional, lagu-lagu Kang Doel dikenal dalam lagu-lagu berbahasa Sunda. Baraya penikmat lagu Sunda pasti sudah tidak asing lagi dengan lagu: Pangandaran, Bulan Batu Hiu, Ah Hoream, Ai, Awewe Sapi Daging, Beurit, Ceu Romlah, Sumedang, Jol, dll.
Begitulah sosok Doel Sumbang, ia seakan tidak habis kreativitas dalam bermusik. Lagu-lagu dalam bahasa Sunda yang diciptakannya tetap banyak yang berciri kritikan sosial, seperti Polisi Noban, Ema, Lalaki, Mang Darman, Berenyit, dll. Lagu-lagu dalam basa Sunda hasil karya pria kelahiran 16 Mei 1963 ini bahkan booming saat euforia Reformasi 1998. Selain itu, karya-karya lagunya pun kerap dinyanyikan oleh penyanyi Sunda lain, seperti Darso dan Nining Meida. Doel ada sosok fenomenal dari Tanah Pasundan yang terus berkarya dalam segala kondisi zaman.
0 komentar:
Posting Komentar