Jika The Beatles memiliki "dwitunggal" Paul McCartney dan John Lennon, Stones dengan Mick Jagger dan Keith Richards, atau Zeppelin dengan Robert Plant dan Jimmy Page, Giant Step pun memiliki "dwitunggal" yang bisa dianggap sebagai roh atau nyawa bagi grupnya, yaitu Benny Soebardja dan Albert Warnerin. Benny dan Albert dikenal sebagai pemain gitar dan penulis lagu yang produktif. Kedua orang inilah yang membidani kelahiran Giant Step pada awal 1970-an di Bandung, kota yang sering dijuluki sebagai gudangnya para seniman musik yang kreatif. Sebelum bergabung dengan Giant Step, Benny-antara lain bersama Boetje Garna, Deddy Garna, Soman Lubis, dan Bhagu Ramchand-pernah ikut memperkuat band-band rock Bandung seperti The Peels dan Shark Move. Yang terakhir ini pernah merilis album Ghede Chokra’s (1973) dengan label perusahaan rekaman di Singapura. Satu-satunya album Shark Move itu lumayan sukses dan menghasilkan hit seperti My Life dan Bingung. Juga ada lagu-lagu lainnya yang selain kuat liriknya juga enak dinikmati, seperti Butterfly, Insan, dan Madat. Sebagaimana Benny, Albert pun termasuk salah seorang musisi andal asal Kota Kembang itu. Di samping gitar, ia juga menguasai beberapa alat musik lainnya, antara lain suling. Albert juga banyak terlibat dalam proyek musik grup-grup Bandung seperti Gang Of Harry Roesli.
Nama Giant Step sendiri, menurut Benny, diambil dari sebuah stiker yang menempel di bungkus gitar milik Remy Sylado. Ceritanya, Benny, Yockie Soeryoprayogo, Deddy Stanzah (mantan Rollies), dan Sammy (mantan drummer Shark Move) pada tahun 1975 hendak manggung di kampus ITB. Namun, ketika itu belum ada nama untuk band mereka. Lalu Benny yang melihat stiker itu langsung mengusulkan nama Giant Step. Dan sejak itu Giant Step, yang dimanajeri Gandjar Suwargani (pemilik Radio OZ Bandung), secara resmi diproklamasikan. Formasi awal Giant Step tidak bertahan lama. Benny kemudian mengajak Adhi Haryadi (bass), Yanto Sudjono (drum), dan Deddy Dores (vokal dan kibor) untuk menggantikan Deddy Stanzah, Sammy, dan Yockie (yang kemudian bergabung ke God Bless). Tidak lama kemudian Albert Warnerin juga bergabung. Pada tahun 1975 itu pula Giant Step mulai masuk dapur rekaman. Album pertamanya yang diberi judul Giant Step Mark-I (1976) yang berisi sepuluh lagu. Termasuk lima lagu berbahasa Inggris-Childhood And The Seabird, Far Away, Fortunate Paradise, Keep A Smile, dan My Life-yang liriknya ditulis oleh Bob Dook, warga Australia yang bermukim di Bandung. Di album pertama ini warna musik Giant Step bisa dibilang masih gado-gado. Ada warna Purple, ELP, dan Gentle Giant. Bahkan, ada empat lagu berlirik cinta cengeng yang ditulis dan dinyanyikan Deddy Dores. Giant Step baru melahirkan komposisi yang sungguh-sungguh bernuansa musik rock progresif pada album kedua, ketiga, dan keempat, yaitu Giant On The Move! (1976), Kukuh Nan Teguh (1977), dan Persada Tercinta (1978).
Semua lagu, baik lirik maupun musiknya, yang terdapat dalam ketiga album itu tergolong berani. Pasalnya, mereka sama sekali tidak berkompromi dengan selera pasar yang ketika itu masih didominasi lagu-lagu pop cinta remaja ala The Mercy’s dan Favourites Group.
Lagu-lagu yang terdapat di album Giant On The Move! bahkan semua liriknya ditulis dalam bahasa Inggris. Mereka mengangkat tema-tema sosial dan politik serta lingkungan, seperti Liar, Decisions, Waste Time, dan Air Pollution. Di album ini formasi Giant Step mengalami perubahan, di mana posisi Deddy Dores (yang keluar karena membentuk Superkid dengan Jelly Tobing dan Deddy Stanzah) digantikan oleh Triawan Munaf dan posisi Yanto Sudjono digantikan oleh Haddy Arief. Triawan dan Haddy adalah mantan anggota Lizard, salah satu band rock Bandung yang pernah mendukung proyek solo Benny dalam album Benny Soebardja & Lizard (1975). Masih dengan formasi yang sama, pada tahun 1977 Giant Step merilis album Kukuh Nan Teguh yang, berbeda dengan album sebelumnya, berisi 11 lagu berlirik Indonesia. Di album ini pula untuk pertama kalinya mereka memasukkan unsur lagu tradisional dan dua lagu instrumental (Dialog Tanya dan Dialog Jawab), yang sekaligus menunjukkan kepiawaian para personelnya, khususnya raungan gitar Albert dan permainan kibor Triawan yang untuk masa itu bisa dibilang luar biasa.
Kendati sangat dipengaruhi band-band progresif luar, musik Giant Step sesungguhnya lebih orisinal. Itu setidaknya jika dibandingkan dengan God Bless, yang sempat mengambil potongan lagu Firth Of Fifth karya Genesis di lagu Huma Di Atas Bukit. Menjelang pembuatan album Persada Tercinta (1978), Triawan mundur karena alasan melanjutkan studi di Inggris. Posisinya digantikan Erwin Badudu, "yang skill-nya jauh lebih canggih daripada saya," kata Triawan. Sebelumnya Erwin sempat terlibat dalam pembuatan album solo Benny Soebardja, Gimme Piece Of Gut Rock (1975), yang musiknya juga digarap oleh para personel Giant Step dan Lizard. Gut Rock adalah proyek album idealis kedua Benny yang seluruh liriknya berbahasa Inggris dan sebagian besar ditulis oleh Bob Dook. Konon Gut Rock semula disiapkan sebagai album Giant Step, tetapi entah kenapa kemudian diubah menjadi album solo Benny. Seperti dua album Giant Step sebelumnya, nuansa rock progresif yang cukup rumit masih kental pada album Persada Tercinta. Namun, pada album kelima, Tinombala (1979), Giant Step tampak mulai berkompromi dengan selera pasar kala itu, dengan memasukkan lagu pop cinta komersial berjudul Lisa.
Pada saat itu formasi Giant Step kembali mengalami perubahan yang cukup drastis, terutama dengan keluarnya Albert Warnerin, yang posisinya digantikan oleh Harry Soebardja, mantan gitaris Lizard yang juga adik kandung Benny. Posisi Haddy Arief pada drum juga digantikan oleh Tommy sehingga formasi Giant Step pada periode ini adalah Benny, Harry, Adhi, Erwin, dan Tommy. Dengan formasi yang sama, mereka merilis album keenam yang diberi judul Giant Step Volume III (1980). Album Volume III (album ketiga di bawah label Irama Tara) ini bisa disebut sebagai album paling buruk yang pernah dihasilkan Giant Step. Boleh jadi karena Benny sendiri-sebagai motor utama Giant Step-mulai disibukkan dengan proyek-proyek solonya. Sebagai penyanyi solo, nama Benny sempat melejit lewat lagu Apatis (karya Ingrid Wijanarko) dan Sesaat (Harry Sabar) dalam album Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors pada akhir 1970-an. Dari sukses lagu Apatis dan Sesaat, yang warna musiknya sangat dipengaruhi album soundtrack film Badai Pasti Berlalu (karya Eros Djarot, Yockie, dan Chrisye) itu, Benny kemudian berkolaborasi dengan anak-anak Pegangsaan, khususnya Fariz RM, untuk membuat dua album solo dengan warna musik serupa, yaitu Setitik Harapan dan Lestari pada tahun 1980-an. Namun, kedua album ini kurang begitu berhasil di pasaran, setidaknya jika dibandingkan dengan album Badai maupun Di Batas Angan-Angan (Keenan Nasution) yang juga digarap oleh kelompok Pegangsaan.
Pada tahun 1985 Benny mencoba membangkitkan kembali Giant Step dengan melibatkan (lagi) Albert Warnerin, Triawan Munaf, Erwin Badudu, serta Jelly Tobing. Pada bulan Juni mereka merilis album Geregetan (1985). Di album ini Giant Step tidak lagi sepenuhnya menyajikan warna musik progresif era 1970-an. Apalagi, kata Triawan, "Produsernya minta agar kita memasukkan sebuah lagu unggulan yang komersial." Toh, waktu itu mereka sempat tampil di TVRI membawakan lagu Geregetan dan Panggilan Jiwa. Perjalanan Giant Step berakhir setelah mereka ikut tampil di acara demo solo drum Jelly Tobing pada tahun 1992. Berbagai upaya untuk menyatukan kembali mereka tak kunjung berhasil. Konon karena adanya perselisihan pribadi yang sulit didamaikan antara mantan "dwitunggal" Benny dan Albert. Rupanya, fenomena dua tokoh kunci dalam satu band rock yang sulit disatukan kembali, tidak hanya dimonopoli grup-grup dunia seperti Lennon versus McCartney (The Beatles), Roger Waters kontra David Gilmour (Pink Floyd), atau Ian Gillan melawan Ritchie Blackmore (Deep Purple).
0 komentar:
Posting Komentar