Rekaman piringan hitamnya yang pertama dengan label GEMBIRA, berisi lagu Di Sudut Bibirmu, Esok Malam Kau Kujelang, dan duet bersama Tuty Daulay dalam lagu Indada Siririton, iringan musik Empat Sekawan Sariman. Pada pertengahan 1960, Titiek Puspa sempat menjadi penyanyi tetap pada Orkes Studio Jakarta. Saat itu Titiek Puspa banyak mendapat bimbingan dari Iskandar (pencipta lagu dan pemimpin orkes) dan Zainal Ardi (suaminya sendiri seorang announcer Radio Republik Indonesia Jakarta). Sebagai penyanyi yang mulai menanjak popularitasnya, Titiek belum menciptakan banyak lagu dalam albumnya, lagu-lagunya banyak diciptakan misalnya oleh Iskandar, Mus Mualim, ada juga Wedasmara. Barulah pada album Si Hitam dan Pita (1963) yang berisi 12 lagu tiap albumnya semuanya adalah ciptaannya sendiri dan menjadi populer saat itu, selain itu juga album Doa Ibu berisi 12 lagu, 11 lagu adalah ciptaannya dengan 1 lagu ciptaan Mus Mualim. Dari album Si Hitam, lagu yang semakin mempopulerkan namanya adalah Si Hitam, Tinggalkan, Aku dan Asmara. Bisa juga dikatakan bahwa bersama album Si Hitam, album Doa Ibu adalah album yang legendaris karena berisi lagu-lagu Minah Gadis Dusun, Pantang Mundur, yang semakin menancapkan Titiek Puspa sebagai penyanyi dan pencipta lagu Indonesia yang baik.
Lagu ciptaannya kini telah lebih dari 300 buah. Tak ayal lagi dialah komponis wanita Indanesia yang paling banyak tercatat karyanya sepanjang sejarah – mungkin sejak sebelum zaman Majapahit. Bahkan mungkin ia penggubah lagu paling produktif melebihi siapapun selama sederet dasawarsa ini. Yang jelas, di hari-hari ini, para penyanyi bagaikan antri menunggu lagu dari Titiek – suatu hal yang tak dialami komponis lain. Suaranya yang tersohor itu, alto, husky, memberat-mendayu dan dengan main-main di sana-sini, terdengar di pengeras suara. Siapa bisa meninggalkan Titiek, setidaknya sekarang?. Tak banyak wanita yang pada moment itu begitu yakin bahwa ia tak akan dilupakan orang. Lima tahun yang lalu ia pernah berfikir bahwa ia akan berhenti menyanyi setelah 40 tahun. Tapi Titiek Puspa nampak belum pada titiknya. Dengan tinggi 167, berat lebih kurang 59 kilo, ia — yang dipanggil “Tante” oleh para penyanyi mutakhir masih sexy. Titiek sendiri tahu betul nampaknya, lagu apayang pas untuk penyanyi mana. Lagu Bing – yang ditulisnya dengan mata basah di atas kantong tempat muntah di pesawat terbang ke Bangka, beberapa jam setelah Bing Slamet meninggal – tidak diberikannya kepada penyanyi Eddy Silitonga. “Karakter Eddy tidak sarna dengan karakter lagu itu,” kata Titiek. Lagu itu pun keluar lewat bibir Grace Simon.
Mus Mualim, suarni dan pendamping musiknya dalam penciptaan, mengatakan bahwa pengenalan Titiek terhadap karakter dan warna suara penyanyi yang berbedabeda sangat baik. “Kalau yang pesan Hetty, pasti yang keluar not-not dan warna untuk Hetty,” katanya. Lewat Eddy Silitonga, Jatuh Cinta jadi hit yang hot. Ia bukan saja merupakan selingan yang hangat dari koleksi Eddy yang agak jadi monoton oleh loloran sedih. Dengan bekal suara Eddy yang sebenarnya bening, lagu yang kaya akan variasi dan hidup warna lucunya itu menonjol ke puncak. Jatuh Cinta mungkin ciptaan Titiek terbaik, dan terlaris. Seorang wanita lacur tengah malam mendatangi tempat Titiek dan rombongan menginap. Di dalam kamar, empat mata, mereka berbicara. Wanita itu menumpahkan segala kegetirannya. Ia bercerita tentang keinginannya untuk hidup seperti wanita lain. Ia bercerita juga tentang kemustahilannya yntuk mendapatkan cinta dari laki-laki (“kalau toh ada yang mencintai, ternyata mereka sudah beristeri,” kata Titiek mengungkapkan kembali). Ia juga berkisah tentang bagaimana ia, untuk mengalamatkan hidup, harus berbuat melebihi kemampuan. Pendeknya, sebuah thema penderitaan, yang agaknya umum terdapat dalam dunia lampu merah. “Wanita itu nangis di pangkuan saya,” tutur Titiek. “Tak tahan saya mendengar kisahnya. Dan di kamar itu kami bertangisan sampai pagi.” Kepada wanita itu pulalah sebuah lagunya iapersembahkan. Lagu itu, selesai 1 Juli 1977, berjudul Kupu-Kupu Malam.
Ada yang benci dirinya Ada yang butuh dirinya. Ada yang berlutut menyintanya Ada pula yang kejam menyiksa dirinya * Ini hidup wanita si Kupu Kupu Malam Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga Bibir senyum kata halus merayu memanja Kepada setiap mereka yang datang * Dosakah yang dia kerjakan Sucikah mereka yang datang Kadang dia tersenyum dalam tangis Kadang dia menangis di dalam senyuman * Tiga dari empat bait syair itu tak akan membikin kita tercengang. Seperti kebanyakan lirik nyanyian populer Indonesia, di sana tak cukup “imager” yang orisinil, tak ada daya buat menimbulkan lukisan yang hidup dan segar. Tapi Kupu-Kupu Malam toh menarik. Berbeda dari lagu Titiek yang lain, ambillah Cinta yang meluap deraskan “perasaan” dengan banir kata-kata hebat, tahun 1970: ia menikah dengan Mus Mualim. Musikus ini waktu itu juga sudah menduda, dengan anak tiga. Mus, seumur, memang bukan orang baru dalam kehidupan Titiek. Sejak tahun 1963 Mus Mualim-lah yang mengajarnya dalam komposisi – dengan suaranya yang pelan, tubuhnya yang jangkung besar dan kecakapan musiknya yang dikaguni Titiek. Setelah mereka menikah, dan Mus menambahkan anaknya Noi ke dalam keluarga baru itu, Mus tetap sebagai pendamping kerjanya. Tapi kini pendamping itu telah tiada namun tante titik masih tetap berkarya.
0 komentar:
Posting Komentar