Di akhir era tahun 60-an, Benny Likumahuwa, seorang pemusik jazz yang berdarah Ambon mulai bergabung bersama The Rollies. Dengan masuknya Benny yang menguasai instrumen bass, drum, flute, trombone, dan saxophone ternyata membuat pergeseran besar dalam warna musik The Rollies. Gagasan Benny adalah menyusupkan instrumen-instrumen tiup sebagai bagian dari musik The Rollies. Ternyata ide Benny tersebut bisa diterima oleh The Rollies dan sejak saat itu Gito tak hanya bernyanyi, namun mulai juga mulai ikut belajar meniup trompet. Iskandar berpindah dari instrumen gitar ke saxophone, sedangkan Benny meniup trombone. Lama-kelamaan Gito merasa kewalahan, jika harus membagi konsentrasi antara menyanyi dan meniup trompet. Akhirnya Gito memilih hanya sebagai penyanyi saja sementara posisi trumpet kemudian diisi oleh Didiet Maruto. Formasi The Rollies lalu bertambah lagi dengan masuknya Raden Bonny Nurdaya dari kelompok Paramor sebagai gitaris. Pada masa itu The Rollies juga sering tampil sebagai band pengiring, antara lain mengiringi penyanyi-penyanyi wanita seperti Anna Mathovani dan Fenty Effendi. Bahkan The Rollies sempat menjadi band pengiring Aida Mustafa dalam album Mengapa Menangis yang dirilis Philips Singapura pada tahun 1968. Pada tahun yang sama The Rollies menerima kontrak main di Capitol Theater Singapore untuk tampil secara berkala dalam sebuah acara Morning Show. Saat itu memang banyak kelompok musik asal kota Bandung yang tampil sebagai penghibur di Singapura mulai dari The Peels hingga Trio Bimbo.
Pada tahun 1971 seusai kontrak bermain di Singapura dan Bangkok, The Rollies kembali ke Tanah Air. Di masa itu musik Indonesia tengah diguncang tren musik pop seperti Koes Plus, Panbers, The Mercy's, Favorite's Group, hingga D'Lloyd. Kemudian di tahun ini juga The Rollies merilis album Let's Start Again dan Bad News di bawah label Remaco dan Sign Of Love di bawah Purnama Record. Terus terang The Rollies merasa kalah pamor dengan grup musik sekelas Koes Plus. Ketika produser rekaman meminta mereka untuk membuat lagu seperti The Mercy's, mereka merasa tidak sanggup. Mungkin karena mereka biasa memainkan repertoar musik jenis Pop, Soul dan Funk yang jelas sangat berbeda dengan musik pop. Beberapa pihak label rekaman pada waktu itu menilai The Rollies dianggap sebagai grup musik yang kurang komersil. Meskipun dianggap kurang komersil, namun ada beberapa lagu the Rollies yang membekas di khalayak pendengar masa itu. Seperti contoh lagu "Salam Terakhir", dan "Setangkai Bunga". The Rollies justru lebih banyak memperoleh sambutan di pentas-pentas pertunjukan. Beberapa pertunjukannya yang pantas dicatat adalah penampilan The Rollies bersama kelompok Soul asal Amerika Howler dalam acara Soul Show pada tanggal 9 Oktober 1971. The Rollies secara musikal dan penampilannya di panggung dianggap kalangan musik mampu mengimbangi grup soul-funk tersebut.
The Rollies juga tercatat sering manggung bareng bersama grup asal Singapura yang kebetulan mengusung unsur brass section yaitu kelompok "Fly Baits" dan "Black Fire Prophecy". Beberapa promotor pertunjukan musik pun mulai memberikan kepercayaan pada The Rollies untuk menjadi grup pembuka kelompok mancanegara seperti Bee Gees di Stadion Utama Senayan pada tanggal 2 April 1972 maupun "Shocking Blue" di Taman Ria Monumen Nasional Jakarta pada 23 Juli tahun 1972. Tak hanya itu, The Rollies pun mencoba melakukan eksperimen bermusik seperti yang diperlihatkan pada konser akbar "SUMMER '28" (akronim dari Suasana Meriah Menjelang Kemerdekaan ke-28) yang berlangsung di Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta, pada 16 Agustus tahun 1973, yaitu dengan menyandingkan perangkat gamelan Sunda dengan perangkat musik elektrik. Kemudian mereka mencoba membawakan lagu karya Sambas "Manuk Dadali" sebagai objek eksperimen The Rollies. Ketenaran The Rollies mulai runtuh. Tiga di antara personelnya terlibat penggunaan psikotropika. Kemudian Deddy Stanzah memilih mundur dari The Rollies dan Iwan Krisnawan meninggal dunia pada tahun 1974. Posisi vokalis hanya tinggal Gito sendiri. Namun, The Rollies yang sedang banyak mengalami cobaan akhirnya bisa memulihkan diri. Direkrutlah Oetje F Tekol (bass) dan Jimmie Manoppo (drum) yang menjadikan The Rollies seolah memiliki energi baru. The Rollies kembali merilis album baru di tahun 1976 di bawah label rekaman Hidayat Audio Bandung. Uniknya album itu berbentuk live yang diambil dari rekaman pertunjukan The Rollies saat manggung di Taman Ismail Marzuki pada 2 dan 3 Oktober tahun 1976. Album ini bisa dianggap sebagai album live pertama dari sebuah grup rock di Indonesia.
Setelah itu The Rollies merilis album Tiada Kusangka yang merupakan repackage atas lagu-lagu yang pernah mereka bawakan di album-album ketika Deddy Stanzah dan Iwan Krisnawan masih bergabung dalam The Rollies. Selanjutnya di era 1977-1979, The Rollies mendapat kontrak rekaman dari Musica Studio's. Ini bisa dianggap sukses kedua dalam perjalanan karier grup ini. Karena di era inilah The Rollies banyak menghasilkan hits seperti Sinar Yang Hilang (Wandi Kuswandi), Dansa Yok Dansa, dan Bimbi (Titiek Puspa), Hari Hari dan Kemarau (Oetje F Tekol), hingga Kau yang Kusayang (Antonius). Di era ini di samping menggunakan nama New Rollies, Delly dan kawan-kawan mulai membuka diri dengan menyanyikan lagu-lagu karya komposer di luar The Rollies, misalnya A. Riyanto, Titiek Puspa, Johannes Purba, Antonius. Setelah The Rollies merilis album Keadilan (1977) Benny Likumahuwa mengundurkan diri dan lebih banyak berkutat di musik jazz. Posisinya lalu digantikan oleh Wawan Tagalos. Tengku Zulfian Iskandar Madian juga mengundurkan diri setelah merilis album Dansa Yok Dansa (1977), posisinya kemudian digantikan Pomo dari The Pro's.Pada tahun 1979 The Rollies memperoleh penghargaan Kalpataru dari Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, karena lagu Kemarau. Lagu yang dikarang oleh Oetje F Tekol, dianggap memuat misi dan pesan mengenai lingkungan hidup.
0 komentar:
Posting Komentar